wah senang rasanya nama suamiku mirip dengan dokter ini..
mudah2an rejekinya sama ya ayank. Amin.
Wednesday, 20 August 2008 21:38
Nama Prof dokter Zainal Muttaqin PhD SpBS (K) tidak asing lagi di bidang kedokteran, khususnya di Jawa Tengah. Dokter ahli bedah syaraf itu kemarin resmi dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Kedokteran Undip. Ia adalah guru besar pertama Undip dalam bidang epilepsi.
UPACARA penerimaan jabatan guru besar FK Undip berlangsung di Gedung Prof Soedarto SH, Kampus Undip Tembalang, kemarin.
Dalam pidato pengukuhannya, Zainal meminta masyarakat menerima secara wajar penderita ayan.
’’Mereka sama saja dengan orang lain. Jangan ada lagi pandangan yang salah dan sumir terhadap mereka. Diskriminasi dalam kesempatan pendidikan dan kerja juga harus dihilangkan,’’ ujar ayah dari tiga anak itu. Epilepsi, kata pria kelahiran Semarang 24 September 1957 itu, bisa terjadi pada siapa saja. Baik si kaya maupun si miskin, berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan.
Seseorang baru bisa dinyatakan sebagai pengidap epilepsi dengan segala konsekuensinya bila telah dibuktikan pada tubuh atau otaknya tidak ada kejang lain yang bisa dihilangkan/disembuhkan.
’’Misalnya adanya demam tinggi, kelainan zat-zat kimia dalam darah, pendesakan otak oleh tumor, tulang yang melesak ke dalam akibat trauma, atau peradangan/infeksi di otak,’’ kata alumnus S3 ilmu bedah syaraf Hiroshima University itu.
Singkatnya, epilepsi adalah sekumpulan kelainan pada otak yang mengakibatkan mudah terjadinya serangan kejang berulang. ’’Penyakit ini merupakan gangguan serius pada otak yang paling sering terjadi. Dan saat ini, ada sekitar 50 juta orang yang hidup dengan epilepsi.’’
Bebas Kejang
Suami dari Nadhira itu menjelaskan, tujuan utama pengobatan tersebut adalah membuat penderita bebas dari serangan epilepsi, terutama kejang. Pasalnya, kejang tiba-tiba itu dapat menyebabkan cedera, bahkan kematian bila terjadi di tempat yang tidak
menguntungkan. Misalnya di dekat kolam, api, atau di tengah keramaian jalan raya.
’’Serangan kejang bukan tidak mungkin bisa memengaruhi kedudukan seseorang di lingkungan sosial/ kerjanya,’’ tuturnya.
Memang saat ini ada berbagai jenis obat antiepilepsi (OAE) yang biasa diberikan pada penderita, baik yang baku maupun modern. Namun demikian 30-40% pasien masih saja mengalami serangan kejang walau sudah mengonsumsi OAE modern.
Lantas apa hubungan kejang dengan pembedahaan? Dokter ahli di RS Dr Kariadi Semarang dan RS Telogorejo itu menjelaskan, serangan kejang pada epilepsi disebabkan oleh lepasnya muatan listrik secara masif dan tidak terkendali dari sekelompok sel-sel otak, yang kemudian meluas ke seluruh otak.
Daerah otak yang karena suatu sebab, sel-selnya secara spontan dan berulang menjadi titik awal terjadinya kejang, disebut sebagai zona epileptogenik. Pada epilepsi parsial/fokal, zona itu terbatas dan umumnya dapat diketahui dengan berbagai pemeriksaan otak.
’’Jadi, bedah epilepsi adalah tindakan bedah untuk menghilangkan kejang dengan cara mengangkat/mengeliminasi zona tersebut dan tetap mempertahankan daerah otak yang memiliki fungsi penting seperti pusat bicara, gerak anggota badan, pengelihatan, pendengaran, dan pemahaman/arena interpretasi umum.’’
Bedah epilepsi telah dimulai sejak awal 2000 di RSUP Dr Kariadi Semarang. Hingga Desember 2007, kata dia, 164 pasien dari seluruh Indonesia telah menjalani operasi di Semarang. Dari 106 pasien pascabedah yang dipantau selama 12 bulan, 75 kasus di antaranya berhasil bebas kejang.
Serangan kejang tidak lebih dari dua kali/tahun ada 17 kasus. Sementara serangan itu berkurang lebih dari 75% dibandingkan sebelum operasi ada 14 kasus.
Rektor Undip Prof Dr dr Susilo Wibowo MS Med SpAnd menyatakan, solusi bedah bagi penderita epilepsi yang dipelopori dokter Zainal telah menghemat uang negara. Pasalnya, obat yang biasanya dikonsumsi para penderita, saat ini harganya sudah tidak terjangkau lagi.
’’Jadi solusi bedah syaraf harus ditawarkan,’’ katanya. Dia mengharapkan apa yang dirintis dokter Zainal diteruskan dokter-dokter lain. Karena itu, dia berpesan pada lulusan itu untuk menjaga reputasi. ’’Itulah aset terbesar yang dimiliki. Kepercayaan masyarakat pada dokter sangat tinggi.’’
Dia juga meminta dokter Zainal untuk terus mengembangkan keilmuannya demi bangsa dan negara. Rektor juga memuji dedikasi all out yang ditunjukkan Zainal dalam bekerja.
Karena itu, dia mengajak masyarakat agar memahami bahwa epilepsi bukanlah penyakit menular atau keturunan. Namun tidak bisa dipungkiri penyakit ayan itu berimbas depresi pada penderitanya bahkan kecenderungan bunuh diri.
’’Seperempat penderita epilepsi memiliki kecenderungan bunuh diri dan 10% pasien gangguan jiwa adalah penderita epilepsi,’’ tuturnya.(Suara Merdeka, Selasa 20-8-2008, hal 1 :Ida Nursanti-60)
UPACARA penerimaan jabatan guru besar FK Undip berlangsung di Gedung Prof Soedarto SH, Kampus Undip Tembalang, kemarin.
Dalam pidato pengukuhannya, Zainal meminta masyarakat menerima secara wajar penderita ayan.
’’Mereka sama saja dengan orang lain. Jangan ada lagi pandangan yang salah dan sumir terhadap mereka. Diskriminasi dalam kesempatan pendidikan dan kerja juga harus dihilangkan,’’ ujar ayah dari tiga anak itu. Epilepsi, kata pria kelahiran Semarang 24 September 1957 itu, bisa terjadi pada siapa saja. Baik si kaya maupun si miskin, berpendidikan maupun yang tidak berpendidikan.
Seseorang baru bisa dinyatakan sebagai pengidap epilepsi dengan segala konsekuensinya bila telah dibuktikan pada tubuh atau otaknya tidak ada kejang lain yang bisa dihilangkan/disembuhkan.
’’Misalnya adanya demam tinggi, kelainan zat-zat kimia dalam darah, pendesakan otak oleh tumor, tulang yang melesak ke dalam akibat trauma, atau peradangan/infeksi di otak,’’ kata alumnus S3 ilmu bedah syaraf Hiroshima University itu.
Singkatnya, epilepsi adalah sekumpulan kelainan pada otak yang mengakibatkan mudah terjadinya serangan kejang berulang. ’’Penyakit ini merupakan gangguan serius pada otak yang paling sering terjadi. Dan saat ini, ada sekitar 50 juta orang yang hidup dengan epilepsi.’’
Bebas Kejang
Suami dari Nadhira itu menjelaskan, tujuan utama pengobatan tersebut adalah membuat penderita bebas dari serangan epilepsi, terutama kejang. Pasalnya, kejang tiba-tiba itu dapat menyebabkan cedera, bahkan kematian bila terjadi di tempat yang tidak
menguntungkan. Misalnya di dekat kolam, api, atau di tengah keramaian jalan raya.
’’Serangan kejang bukan tidak mungkin bisa memengaruhi kedudukan seseorang di lingkungan sosial/ kerjanya,’’ tuturnya.
Memang saat ini ada berbagai jenis obat antiepilepsi (OAE) yang biasa diberikan pada penderita, baik yang baku maupun modern. Namun demikian 30-40% pasien masih saja mengalami serangan kejang walau sudah mengonsumsi OAE modern.
Lantas apa hubungan kejang dengan pembedahaan? Dokter ahli di RS Dr Kariadi Semarang dan RS Telogorejo itu menjelaskan, serangan kejang pada epilepsi disebabkan oleh lepasnya muatan listrik secara masif dan tidak terkendali dari sekelompok sel-sel otak, yang kemudian meluas ke seluruh otak.
Daerah otak yang karena suatu sebab, sel-selnya secara spontan dan berulang menjadi titik awal terjadinya kejang, disebut sebagai zona epileptogenik. Pada epilepsi parsial/fokal, zona itu terbatas dan umumnya dapat diketahui dengan berbagai pemeriksaan otak.
’’Jadi, bedah epilepsi adalah tindakan bedah untuk menghilangkan kejang dengan cara mengangkat/mengeliminasi zona tersebut dan tetap mempertahankan daerah otak yang memiliki fungsi penting seperti pusat bicara, gerak anggota badan, pengelihatan, pendengaran, dan pemahaman/arena interpretasi umum.’’
Bedah epilepsi telah dimulai sejak awal 2000 di RSUP Dr Kariadi Semarang. Hingga Desember 2007, kata dia, 164 pasien dari seluruh Indonesia telah menjalani operasi di Semarang. Dari 106 pasien pascabedah yang dipantau selama 12 bulan, 75 kasus di antaranya berhasil bebas kejang.
Serangan kejang tidak lebih dari dua kali/tahun ada 17 kasus. Sementara serangan itu berkurang lebih dari 75% dibandingkan sebelum operasi ada 14 kasus.
Rektor Undip Prof Dr dr Susilo Wibowo MS Med SpAnd menyatakan, solusi bedah bagi penderita epilepsi yang dipelopori dokter Zainal telah menghemat uang negara. Pasalnya, obat yang biasanya dikonsumsi para penderita, saat ini harganya sudah tidak terjangkau lagi.
’’Jadi solusi bedah syaraf harus ditawarkan,’’ katanya. Dia mengharapkan apa yang dirintis dokter Zainal diteruskan dokter-dokter lain. Karena itu, dia berpesan pada lulusan itu untuk menjaga reputasi. ’’Itulah aset terbesar yang dimiliki. Kepercayaan masyarakat pada dokter sangat tinggi.’’
Dia juga meminta dokter Zainal untuk terus mengembangkan keilmuannya demi bangsa dan negara. Rektor juga memuji dedikasi all out yang ditunjukkan Zainal dalam bekerja.
Karena itu, dia mengajak masyarakat agar memahami bahwa epilepsi bukanlah penyakit menular atau keturunan. Namun tidak bisa dipungkiri penyakit ayan itu berimbas depresi pada penderitanya bahkan kecenderungan bunuh diri.
’’Seperempat penderita epilepsi memiliki kecenderungan bunuh diri dan 10% pasien gangguan jiwa adalah penderita epilepsi,’’ tuturnya.(Suara Merdeka, Selasa 20-8-2008, hal 1 :Ida Nursanti-60)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar